Tidak ada seorang pun yang bisa mengabaikan apa yang telah dikerjakan oleh Theologi Reformed sepanjang sejarah [1]. Keunikan Theologi Reformed, khususnya dalam pengertian akan wahyu umum (general revelation) patut kita syukuri dan cermati dengan serius. Ini merupakan sumbangsih serta intisari kebenaran yang telah diturunkan oleh bapa-bapa gereja sepanjang sejarah dengan semangat yang tidak berkompromi. Maka dalam kesempatan ini, saya akan mencoba untuk menuliskan beberapa hal seputar wahyu umum. Kiranya dengan pengertian akan wahyu umum ini, kita sebagai orang Kristen dipersiapkan lebih lagi untuk melalui peperangan iman dalam kesimpangsiuran ajaran dunia yang salah dan biarlah hal ini dapat memberikan petunjuk bagi kehidupan kita sebagai umat Allah.
Satu-satunya cara agar kita dapat mengetahui kebenaran adalah melalui pewahyuan dari Allah. Hal ini merupakan dasar pijak bagi kekristenan dalam memandang apa itu kebenaran. Sesuatu itu adalah benar hanya jika Allah mengatakan itu benar. Sesuatu itu adalah baik hanya jika Allah yang mengatakan bahwa itu baik. Allah adalah pendefinisi segala sesuatu yang ada. Oleh karena itu, penyataan Allah adalah mutlak diperlukan agar manusia dapat mengetahui yang benar dan mengenal siapa Allah itu dengan benar. Manusia bergantung sepenuhnya kepada Allah dan wahyu-Nya yang Ia nyatakan.
Dalam Theologi Reformed, ada dua macam penggolongan wahyu, yaitu wahyu khusus dan wahyu umum atau yang sering disebut juga wahyu alam. Seperti yang sudah dibahas pada bulletin Pillar edisi yang lalu, bahwa wahyu khusus adalah penyataan Allah akan Diri-Nya melalui nubuat atau Firman-Nya, dalam hal ini Alkitab. Sedangkan wahyu umum adalah penyataan Allah akan diri-Nya melalui seluruh ciptaan, termasuk diri manusia itu sendiri dan tuntutan hati nurani (Mzm. 19; Rm. 1).
Seluruh ciptaan menyatakan natur dan kehendak Sang Pencipta. Kita percaya bahwa Allah adalah Sang Pencipta dunia ini (Kej. 1:1) dan Dia adalah sumber dari segala sesuatu yang ada, dan tanpa Dia tidak ada suatu pun yang telah jadi dari segala yang telah dijadikan (Yoh. 1:3). Seluruh ciptaan menjadi ada oleh karena Allah sendiri yang memerintahkan lewat Firman-Nya. “Jadilah terang maka terang itu jadi…” Dalam oratorio The Creation, karya Joseph Haydn dikatakan bahwa “a new created world springs up at God’s command”. Oleh karena Firman Allah, dunia ini jadi. Oleh karena titah-Nya, langit telah terbentuk. Dengan demikian, tidak ada ciptaan yang ada dan berdiri pada dirinya sendiri. Seluruh realitas ciptaan ada dan akan selalu menyatakan pribadi Sang Pencipta. Ya, seluruh ciptaan ini bersifat pewahyuan dan merupakan wahyu dari Allah itu sendiri – All creation is revelational.
Dengan mengerti bahwa all creation is revelational, kita akan melihat bahwa seluruh ciptaan bahkan seluruh hidup ini adalah sebagai panggung tempat Allah bekerja menyatakan rencana dan kehendak-Nya. Baik ketika kita sedang belajar di sekolah, ketika sedang pelayanan di gereja, baik ketika sedang berkumpul bersama keluarga, di mana saja, sadar atau tidak sadar, wahyu umum Allah menggema dan oleh karenanya menuntut respons pertanggungjawaban setiap kita masing-masing.
Salah satu kebahayaan zaman ini adalah semakin besarnya keterpecahan dalam hidup orang Kristen. Sejarah memaparkan kepada kita akan pecahan-pecahan hidup yang kian terjadi. Dalam zaman pencerahan misalnya, pencarian kebenaran ilmu pengetahuan dengan rasional dan iman dipisahkan. Dikatakan bahwa ilmu pengetahuan harus lepas dari subjektivitas iman yang sifatnya pribadi. Sehingga rasionalitas merupakan otoritas absolut dalam pencarian kebenaran, dan terlepas dari apa yang agama atau iman kekristenan katakan.
Semangat keterpecahan Abad Pencerahan sangat mungkin masih hidup dalam keseharian perjalanan iman kita. Dosa sedemikian ganas memecahkan setiap aspek hidup kita dan semakin menjauhkan kita dari kebenaran. Allah mungkin sekali dikotak-kotakkan hanya ada pada hari Minggu di gereja. Di manakah Allah saat kita belajar di sekolah? Di manakah Allah saat kita berelasi dengan sesama? Di manakah Allah dalam setiap rencana hidup kita ke depan? Sungguhkah Allah yang bertakhta sebagai Raja atas seluruh hidup kita?
“There is not a single inch in the whole domain of our human existence over which Christ, who is sovereign over all, does not cry: Mine!” Abraham Kuyper mengatakan bahwa setiap inci kehidupan manusia adalah milik Allah dan Allah berdaulat penuh atasnya. Kalau Allah adalah Tuhan atas setiap inci hidup kita, maka Ia patut dimuliakan dan ditinggikan dalam setiap detail hidup kita itu. Seluruh hidup kita merupakan penyataan dari wahyu Allah yang secara umum dinyatakan. Sebagai umat kepunyaan Allah, apa sebenarnya yang kita nyatakan melalui hidup kita? Kemuliaan Allah ataukah justru murka Allah yang nampak melalui hidup kita, karena kita telah menindas kebenaran dengan kelaliman (Rm. 1:18).
Lantas, bagaimana kita seharusnya melihat wahyu umum yang sedemikian luas dengan benar? Wahyu umum tidak dapat dipisahkan dengan wahyu khusus. Wahyu khusus merupakan presuposisi atau kacamata yang mutlak perlu agar kita dapat melihat kepada wahyu umum dengan benar. Dengan membuang Firman Allah, kita sebenarnya sedang membuang Allah dari hidup kita. Ketika kita memisahkan antara terang Firman Tuhan dengan seluruh aspek ciptaan dalam dunia ini, sebenarnya kita sedang membangun otonomi diri kita sendiri. Tanpa kaitan dengan perintah dan Firman-Nya, kita sedang melakukan kesalahan yang sama seperti kisah menara Babel. Manusia begitu “hebat” dan “pintar” hendak membangun sebuah menara yang puncaknya mencapai ke langit (Kej. 11:4). Namun, Alkitab mencatat Tuhan justru mengacaubalaukan dan menyerakkan mereka semua. Segala pencapaian manusia yang demikian megah sekalipun, tanpa terang Firman Allah dan perintah-Nya yang mendasari (mempresuposisikannya) maka akan menjadi kesia-siaan dan bahkan kemurkaan bagi Allah. Demikianlah setelah kejatuhan manusia dalam dosa, wahyu khusus Allah dalam anugerah-Nya semakin mutlak diperlukan karena natur kita sebagai manusia berdosa telah mengaburkan kebenaran dari wahyu umum (Rm. 1:18-32). [2]
Pada saat yang bersamaan, wahyu khusus dinyatakan dalam dunia ini dengan wahyu umum sebagai platformnya. Seperti yang sudah dikatakan, bahwa seluruh ciptaan ini merupakan panggung tempat Allah bekerja menyatakan rencana dan kehendak-Nya. Oleh karena itu, wahyu khusus juga tidak dapat dipahami jika dipisahkan dengan wahyu umum. Kedua wahyu ini (wahyu umum dan wahyu khusus) membentuk suatu keutuhan yang saling terkait, dapat dibedakan namun tidak dapat dipisahkan.
Itulah sifat daripada kebenaran, yaitu luas (universal) dan utuh (koheren). Kebenaran itu tidak terkotak-kotak dan terpisah satu dengan yang lainnya dalam hidup ini. Kebenaran itu mencakup seluruh pikiran, perasaan, maupun tindakan hidup kita yang tunduk pada kebenaran itu sendiri, karena memang kebenaranlah yang seharusnya menguasai diri kita. Kebenaran itu luas mencakup seluruh aspek keberadaan diri kita dan orang lain di sekitar kita. Kebenaran itu utuh, saling terkait dan integratif satu dengan yang lainnya.
Keluasan dan keutuhan kebenaran ini merupakan elemen penting yang harus kita sadari ketika kita berinteraksi dengan dunia ciptaan ini. Wahyu umum dan wahyu khusus berasal dari Allah yang sama dan merupakan penyataan yang sama-sama menunjuk pada natur dan kehendak-Nya. Oleh karena itu, tidak seharusnya kita melihat alam hanya terisolasi oleh alam itu sendiri, tanpa ada kaitan dengan diri manusia bahkan Allah. John Calvin mencetuskan sebuah pemikiran dalam bukunya Institutes of the Christian Religion bahwa mengenal Allah – mengenal diri, mengenal diri – mengenal Allah. Ketika kita belajar matematika di sekolah – yang adalah kebenaran yang berasal dari Allah, apakah pengenalan kita akan Tuhan juga semakin dalam? Ketika kita berelasi dengan teman kita, apakah spiritualitas dan cinta kasih kita kepada Tuhan semakin bertumbuh dalam kebenaran? Ketika kita belajar sesuatu, apakah kaitannya dengan Kerajaan Allah dan sesama? Demikianlah seluruh realitas ciptaan ini harus menunjuk kepada satu fokus, yaitu Kristus dan kehendak-Nya. Tanpa Kristus sebagai fokus/tujuan akhir dari segala sesuatu, maka semuanya akan menjadi kekejian (evil) di hadapan Allah. Dengan semakin mengenal diri kita di hadapan Allah Sang Pencipta, kita dimampukan untuk menginterpretasi dan membudidayakan alam dengan benar. Dengan mengenal diri kita di hadapan Allah, kita mengenal tugas yang harus kita kerjakan dengan benar.
Wahyu khusus tidak lebih penting daripada wahyu umum, demikian juga sebaliknya. Tidak ada yang bisa mengerti wahyu khusus tanpa latar belakang (platform) wahyu umum. Tidak ada yang bisa mengerti wahyu umum tanpa terang (presuposisi) wahyu khusus [4]. Wahyu khusus bukan muncul karena ada kekurangan atau kecacatan dalam wahyu umum. Wahyu umum adalah cukup bagi tujuan historisnya, yaitu untuk menyediakan latar belakang yang layak bagi wahyu khusus. Wahyu umum memang tidak cukup dalam mengkomunikasikan penebusan Allah kepada ciptaan-Nya, karena memang bukan itu peran dari wahyu umum. [2]
Manusia yang berdosa telah membuat kabur pandangan dalam melihat kebenaran yang dinyatakan oleh Allah. Kenapa? Karena manusia telah jatuh dalam dosa dan telah menekan/menindas kebenaran itu dengan kelaliman (Rm. 1:18). Sehingga dibutuhkan secara mutlak anugerah Allah secara khusus yang menebus dan memperbaiki kerusakan yang terjadi. Wahyu khusus menjadi mutlak diperlukan dalam perannya mengkomunikasikan janji keselamatan kepada kita orang berdosa. Ia menjadi mutlak diperlukan untuk membimbing penafsiran kita terhadap wahyu umum dengan benar. So we cannot understand natural revelation without distortion, unless we view it biblically. Calvin says (Institutes, 1.1.6) that Scripture is like a pair of glasses, which brings into sharp focus what is otherwise blurred. [5]
Itulah peran kita sebagai orang Kristen di tengah-tengah dunia berdosa, yaitu menyatakan penebusan Allah atas ciptaan ini. Hanya orang yang sudah dilahirbarukan dan menerima anugerah khusus Allah saja yang dapat melakukan penebusan, dengan kata lain hanya orang Kristen yang harus dan sanggup melakukannya. Hanya di dalam Kristus saja, seluruh ciptaan direkonsiliasi/diperdamaikan dengan Allah. Oleh karenanya orang Kristen sudah seharusnya melihat dan mencari kemuliaan Kristus di dalam setiap aspek kehidupan (1Kor. 10:31). Itulah tujuan atau sasaran kita sebagai umat Allah. Dan inilah suatu wujud dari penaklukan segala pikiran dalam ketaatan kepada Kristus (2Kor. 10:5).
Wahyu umum dan wahyu khusus juga memiliki sifat otoritatif yang sama, karena kedua hal ini sama-sama bersumber dari Allah yang berotoritas. Oleh karena itu, sudah seharusnya ketika kita menghampiri kebenaran dalam alam ciptaan ini, kita juga dituntut suatu sikap taat kepada Allah, karena kita tahu bahwa kita sedang berhadapan dengan Allah yang menyatakan wahyu-Nya kepada kita. Dan dengan berharap pada anugerah-Nya sajalah yang mampu membukakan pengertian sejati kepada kita.
Sadar atau tidak sadar, setiap hari kita berjumpa dengan kehadiran wahyu Allah dalam hidup kita. Ketika wahyu Allah hadir, ia selalu menuntut respons manusia. Keacuhan dan penindasan manusia terhadap wahyu Allah hanya akan membuat wahyu itu berlaku sebagai penghakiman/kutuk dan bukan sebagai berkat. Akibat dari mengabaikan kebenaran Allah/wahyu Allah adalah dinyatakannya wahyu “tambahan” dari Allah yang berupa wahyu akan murka Allah. Barangsiapa menolak Aku, dan tidak menerima perkataan-Ku, ia sudah ada hakimnya, yaitu firman yang telah Kukatakan, itulah yang akan menjadi hakimnya pada akhir zaman – Yohanes 12:48.
Wahyu ketika hadir, ia akan membawa pemisahan yang akan terjadi pada waktunya. Seperti pedang bermata dua, ia akan memisahkan antara berkat dan kutuk, memisahkan antara kebenaran dan dosa, memisahkan antara kelompok yang memegang teguh perjanjian Allah (covenant keeper) dan kelompok yang melanggar perjanjian Allah (covenant breaker). Dalam sepanjang sejarah memang pemisahan ini terus menerus terjadi dan dinyatakan. Untuk itu, kita harus sungguh-sungguh gentar dan senantiasa waspada. Apakah hidup kita justru menyatakan anugerah Tuhan (revelation of grace) sebagai umat perjanjian (covenant keeper) ataukah malah menyatakan murka (revelation of wrath) daripada Allah atas kita maupun sesama kita?
Lantas, mungkin tidak sedikit dari kita semua yang kian bergumul ketika menjalani peperangan iman dalam hidup sehari-hari. Tidak sedikit dari kita yang bertanya-tanya bagaimana saya harus memulai berespons terhadap wahyu Allah atas diriku? Dengan sungguh-sungguh bertanya demikian, ini merupakan suatu langkah awal yang patut diperjuangkan. Seperti kata Pdt. Dr. Stephen Tong bahwa hal pertama yang harus ada adalah NIAT. NIAT, LAKUKAN, dan kau akan TAHU. Barangsiapa mau melakukan kehendak-Nya, ia akan tahu… (Yoh. 7:17). Niat untuk menghidupi kebenaran dalam setiap detail hidup. Niat untuk terus belajar dan mengerti kebenaran dengan semakin dalam dan luas. Niat yang dilandasi oleh KASIH kepada Allah yang menggebu-gebu itulah yang harus terus kita perjuangkan. Karena untuk mengabaikan kebenaran itu adalah hal yang sangat mudah dan tidak perlu diajar. Tidak diperlukan suatu perjuangan keras untuk menghasilkan ketidakbenaran. Cukup dengan orang Kristen itu diam, maka kejahatan akan muncul dengan sendirinya. “The only thing necessary for the triumph of evil is for good men to do nothing.” -Edmund Burke.
Ini memang perjalanan iman yang tidak gampang dan tidak instan. Ketika kita mulai untuk melangkah, mungkin sekali seumur hidup kita baru meletakkan batu pertama dari keseluruhan pekerjaan dalam Kerajaan Allah. Namun itu memang adalah panggilan setiap kita yang adalah Gereja Tuhan, umat-Nya yang dikhususkan dan dipilih-Nya untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya (Ef. 2:10). Respons yang benar terhadap wahyu Allah tidak pernah sia-sia karena itu adalah menjadikan manusia sebagai manusia yang sesungguhnya (Image of God). Karena itu, saudara-saudaraku yang kekasih, berdirilah teguh, jangan goyah, dan giatlah selalu dalam pekerjaan Tuhan! Sebab kamu tahu, bahwa dalam persekutuan dengan Tuhan jerih payahmu tidak sia-sia – 1 Korintus 15:58. Bersediakah saudara? Mari melangkahlah…
Andre Winoto
Pemuda FIRES
Endnotes:
[1] Gerakan Reformed Injili – Apa? dan Mengapa? – Pdt. Dr. Stephen Tong
[2] Suatu Analisis Terhadap Pemikirannya Cornelius Van Til – John Frame
[3] All Truth is God’s Truth
[4] http://vantillian.wordpress.com/2009/09/04/wahyu-umum-dan-wahyu-khusus/
[5] Is Natural Revelation Sufficient to Govern Culture? – John Frame
[6] STRIJ – Revelasi, oleh Ev. Edward Oei, M.C.S