Hari berganti hari… Tak terasa, kalender saat ini sudah berada di lembaran yang terakhir… Artinya sebentar lagi akan penuh dengan kepenatan rapat evaluasi tahunan bagi pekerja kantoran, ketegangan ujian bagi para akademisi, dan yang tidak kalah heboh adalah kebisingan persiapan Natal.

Mulai dari perkantoran, sekolah, persekutuan siswa, persekutuan mahasiswa, dan gereja-gereja di seluruh belahan bumi, fokusnya seakan-akan terpaku pada angka 25 pada bulan Desember. Maka demi meregangkan keruwetan acara perayaan ini, gereja-gereja pun mulai mendetailkan acaranya mulai dari Natal anak, remaja, pemuda, umum, manula sampai dengan acara-acara Natal yang direncanakan bagi panti asuhan, panti jompo, rumah-rumah penampungan anak jalanan, dan bahkan lembaga permasyarakatan pun menjadi pilihan destinasi bagi para anggota gereja untuk meluapkan rasa empatinya menjelang libur internasional ini. Baik institusi maupun perorangan, semuanya berlomba-lomba merespons datangnya satu hari ini. Ada apa di balik satu hari ini? Mengapakah semua orang khususnya umat Kristiani begitu sibuknya menyambut hari Natal ini? Apakah sebenarnya keistimewaan hari ini?

Asal Mula Perayaan Natal

Encyclopedia Americana terbitan tahun 1944 menyatakan sebagai berikut: “Menurut para ahli, pada abad-abad permulaan, Natal tidak pernah dirayakan oleh umat Kristen. Pada umumnya, umat Kristen hanya merayakan hari kematian orang-orang terkemuka saja, dan tidak pernah merayakan hari kelahiran orang tersebut ….” (“Perjamuan Suci” yang terdapat dalam Kitab Perjanjian Baru, hanyalah untuk mengenang kematian Yesus Kristus). Perayaan Natal yang dianggap sebagai hari kelahiran Yesus, baru diresmikan pada abad keempat Masehi. Gereja Barat memerintahkan kepada umat Kristen untuk merayakan hari kelahiran Yesus, yang diambil dari hari pesta bangsa Roma yang merayakan hari “Kelahiran Dewa Matahari”, sebab tidak seorang pun yang mengetahui tanggal kelahiran Yesus yang sesungguhnya.

Pada abad pertama sampai abad keempat Masehi, dunia kekristenan dikuasai oleh kekaisaran Romawi yang paganis politheis dan melawan kekristenan. Tetapi kondisi menjadi begitu berbeda ketika Kaisar Konstantin naik takhta menjadi kaisar pada abad ke-4 M, dan kemudian secara resmi mengeluarkan Edict of Milan yang menjamin kebebasan orang-orang Kristen maupun yang lain untuk bebas beribadah sesuai dengan kepercayaan mereka masing-masing. Hal ini mengakibatkan agama Kristen memiliki posisi yang sejajar dengan agama kafir yang berkembang di kota Roma. Namun karena Kaisar Konstantin sendiri menaruh perhatian besar kepada gereja dan kemudian menjadikan agama Kristen menjadi agama negara, maka sejak saat itu banyak rakyat yang berbondong-bondong memeluk agama Kristen. Tetapi mereka juga adalah orang-orang yang sudah terbiasa merayakan festival menyambut kelahiran matahari baru dan sudah begitu mendarah daging. Hal ini mengakibatkan perayaan ini begitu sulit untuk dihapuskan. Perayaan ini adalah pesta pora dengan penuh kemeriahan dan sangat disenangi oleh rakyat. Mereka tidak ingin kehilangan hari penuh kegembiraan seperti itu. Oleh karena itu, meskipun sudah memeluk agama Kristen, mereka tetap melestarikan perayaan tersebut. Jadi, perayaan Natal baru dilakukan setelah Gereja Roma memerintahkan perayaannya pada tanggal 25 Desember setelah abad ke-4. Sehingga tidaklah mengherankan jika golongan agama tertentu mengecam kekristenan mengadopsi perayaan penyembahan berhala yang merupakan kepercayaan kafir.

Inilah sekilas kisah bagaimana Natal mulai dirayakan oleh gereja di abad ke-4 atau ke-5. Bagi kita yang sudah terbiasa merayakan Natal pada tanggal ini, apa yang melatarbelakangi kita merayakannya? Kebiasaan atau tradisi? Kita sudah terlalu terbiasa melakukan hal-hal yang sudah menjadi tradisi dengan mengatakan, “Yah… dari dulunya juga sudah begini… apa salahnya?” Kita memang sering kali terjebak melakukan sesuatu yang tidak kita pikirkan kebenarannya. Jadi, apakah Natal itu bagi kita?

Iman Sejati

Jika kita amati lebih jauh, gereja di sepanjang beberapa abad terakhir ini seakan-akan sudah terbius dengan kehampaan pesta Natal macam ini. Bahkan membuat kita seolah-olah tidak berbeda dengan masyarakat Roma saat itu yang menjadi beragama Kristen, tetapi tidak mau meninggalkan tradisi yang sudah melekat pada sumsum dan tulang jiwa mereka. Mereka malas untuk berpikir ulang tentang kebiasaan mereka. Mereka sudah terlalu nyaman dengan tradisi tersebut. Padahal jika kita sungguh-sungguh ingin menjadi orang Kristen sejati, baiklah kita kembalikan seluruh hidup kita kepada dasar iman yang sejati. Tetapi apakah itu iman yang sejati? Katekismus Heidelberg menjawab, “Iman yang sejati adalah keyakinan atau pengetahuan yang pasti yang membuat aku mengakui sebagai kebenaran segala sesuatu yang dinyatakan Allah kepada kita di dalam Firman-Nya, dan juga kepercayaan yang teguh, yang dikerjakan dalam hatiku oleh Roh Kudus, melalui Injil.”

Pengakuan Iman Rasuli

Kepercayaan yang teguh akan kebenaran firman Tuhan oleh gereja sepanjang masa dituangkan kemudian dalam suatu Pengakuan Iman atau Kredo. Kredo terpenting dari gereja di abad mula-mula termasuk Pengakuan Iman Rasuli.

Pengakuan Iman Rasuli atau lebih tepatnya dikatakan sebagai Kredo Rasuli ini bukanlah sekadar tradisi gereja atau sekadar hafalan dalam liturgi ibadah. Beberapa sumber mengatakan bahwa legenda dari Kredo Rasuli ini merupakan hasil perumusan langsung dari para Rasul. Istilah “Kredo Rasuli” (symbolum apostolorum) ini pertama kali muncul dalam sebuah surat yang dikirim oleh Sinode Milan kepada Paus Siricius pada tahun 390 M. Surat ini dikatakan kemungkinan besar dirancang oleh Ambrosius, bishop Milan. Ia sangat yakin bahwa kredo ini dirumuskan oleh 12 orang rasul yang berkumpul bersama-sama dan setiap rasul mengusulkan satu frase dalam kredo ini. Tradisi ini secara khusus diekspresikan oleh Rufinus yang menulis eksposisi kredo ini pada tahun 404 M. Ia menceritakan bahwa setelah peristiwa pencurahan Roh Kudus pada saat Pentakosta (Kis. 2:1-13), para rasul segera pergi ke seluruh bumi untuk memberitakan Injil (Kis. 1:8). Sebelum masing-masing berpisah menuju berbagai tempat, mereka berkumpul dan merumuskan inti ajaran yang harus dipegang dan diajarkan ke manapun mereka pergi. Tujuan dari perumusan ini adalah supaya mereka tidak mengkhotbahkan doktrin yang berbeda satu dengan yang lainnya.

Meskipun terdapat kontroversi mengenai keabsahan Kredo Rasuli ini, namun Bapak-bapak gereja mengakui Kredo Rasuli ini sebagai kredo tertua. A. A. Hodge mengatakan bahwa: “This was not written by the apostles, but was gradually formed, by common consent, out of the Confessions adopted severally by particular churches, and used in the reception of its members. It reached its present form, and universal use among all the churches, about the close of the second century.” Memang kita perlu mengakui bahwa Kredo Rasuli yang kita miliki sekarang merupakan hasil proses perubahan beberapa kali. Versi paling kuno yang ditemukan secara resmi adalah The Old Roman Symbol (abad ke-4).

Sebelum abad ke-4 memang sudah ada Kredo Rasuli versi The Old Roman Creed, hanya saja tidak ada bukti tertulis yang memuat rumusan tersebut (karena kredo waktu itu memang untuk dihafal saja). Kita juga perlu menyadari situasi gereja pada abad permulaan. Mereka menghadapi tantangan dari pihak non-Kristen. Para ahli sejarah gereja menyatakan bahwa dalam situasi seperti ini gereja-gereja abad permulaan mempraktekkan apa yang disebut disciplina arcani (peraturan rahasia). Beberapa karakteristik kekristenan, khususnya yang berhubungan dengan sakramen, berusaha disembunyikan dari orang-orang non-Kristen dengan tujuan supaya tidak ada penyusupan, penajisan, maupun penyalahgunaan rumusan iman gereja. Para pemimpin gereja tidak menuliskan atau mempublikasikan suatu rumusan iman tertentu yang sudah formal. Hanya mereka yang sungguh-sungguh menerima iman Kristen dan berkomitmen untuk bergabung dengan gereja universal saja yang mengetahui dan dituntut untuk menghafal kredo kuno.

Sebab itu, A. A. Hodge merumuskan beberapa fungsi daripada kredo yang dimiliki gereja dalam sepanjang sejarah, yaitu:

  1. To mark, disseminate and preserve the attainments made in the knowledge of Christian truth by any branch of the Church in any crisis of its development.
  2. To discriminate the truth from the glosses of false teachers, and to present it in its integrity and due proportions.
  3. To act as the basis of ecclesiastical fellowship among those so nearly agreed as to be able to labor together in harmony.
  4. To be used as instruments in the great work of popular instruction.

Natal, Alkitab, dan Pengakuan Iman Rasuli

Dengan Alkitab sebagai “kompas penjaga arah” terutama dan pertama, maka Pengakuan Iman berfungsi sebgai “kompas penjaga arah” kedua dari gereja. Lalu, bagaimana Alkitab dan Kredo Rasuli mengajakan kita tentang Natal? Perayaan Natal hari ini justru sering kali menyatakan pergeseran tubuh Kristus menjauhi Kristus. Ketika kita merayakan inkarnasi-Nya dengan perayaan yang berpusat pada kesenangan diri; ataupun pergeseran bisa begitu halus melalui jiwa konsumerisme karena sudah menjadi kebiasaan menjelang pesta-pesta diskon akhir tahun; atau pergeseran melalui spirit humanis yang rendah, yang ujung-ujungnya adalah demi menyatakan eksistensi diri. Atau bahkan pergeseran bisa ternyatakan ketika gereja terlalu malas untuk memikirkan kebenaran dari tradisi-tradisi yang sudah mengalir begitu derasnya dalam pembuluh darah mereka.

Tentunya penulisan artikel ini bukan untuk membuat kita anti dengan sukacita, anti perayaan, ataupun berbagi dengan sesama atau yang lainnya. Tetapi artikel ini mau mengajak kita bersama-sama menggumulkan bagaimana seharusnya Natal tahun ini bisa kita sambut sesuai dengan kehendak Tuhan yang dinyatakan di dalam Alkitab dan hanya untuk menyenangkan hati Tuhan dan bukan yang lain.

Melalui Kredo Rasuli yang setiap minggu kita ucapkan, sesungguhnya kita digugah untuk mengingat kembali ketika Allah membiarkan diri-Nya dipersempit sejenak dalam waktu dan tempat di mana Ia sendirilah yang menciptakan mereka. Di dalam waktu dan tempat inilah Ia membiarkan diri-Nya terukir dalam sejarah manusia yaitu terajut dalam rahim dara Maria dan terikat menderita di bawah pemerintahan Pontius Pilatus. Bukankah kalimat-kalimat itu yang kita “akui”?

Natal adalah kisah tentang Kristus, tiap minggu kita beribadah pun demi Kristus, namun mengapa Tuhan izinkan ada satu tanggal yang sangat mungkin tidak mewakili diri-Nya, tetapi terus terukir sebagai hari yang menyatakan kelahiran-Nya? Kita tentu tidak senang ketika orang lain mengingat/mengucapkan “selamat ulang tahun” padahal kita tidak lahir pada hari tersebut bukan? Tetapi mengapa ya Tuhan rela? Misteri ini tidak dijawab Tuhan secara langsung di dalam Alkitab. Tetapi kemungkinan jawaban yang saat ini terpikirkan saya adalah karena kita terlalu bodoh untuk mengingat inkarnasi Kristus JURUSELAMAT KITA, padahal setiap minggu kita ucapkan kredo tersebut dengan lantang. Itulah sebabnya Ia ijinkan satu hari dalam satu tahun dicatatkan sebagai hari kelahiran-Nya. Sehingga rasio, kehendak dan emosi kita, tidak bisa tidak mengingat akan Kristus yang lahir dalam palungan itu.

Maka sesungguhnya Natal bukan masalah perayaan, tetapi KREDO – kredo kepada Kristus yang lahir di dalam sejarah. Natal juga bukan masalah tanggal atau hari, tetapi momen di mana Sang Pencipta melawat ciptaan-Nya. Itulah Natal sesungguhnya! Bagaimana dengan Natal tahun ini? Akankah kita sambut sekali lagi sebagai tradisi? Atau sebagai perayaan? Atau sebagai kesempatan menunjukkan eksistensi diri? Atau sebagai momen menghadirkan Sang Pencipta di dalam hati manusia terhilang karena dosa, karena kita percaya dan mengaku hanya di dalam Kristus satu-satunya jalan kepada Bapa… Selamat berkredo… selamat Natal!

Rebecca Puspasari

Pemudi FIRES

Referensi

– A Short History of Creeds and Confessions by A. A. Hodge

– The Plain Truth About Christmas by Herbert W. Armstrong

– 100 Peristiwa Penting dalam Sejarah Kristen

– Katekismus Heidelberg pertanyaan 21

– God Centered Biblical Interpretation by Vern S. Poythress