“Lalu mereka cepat-cepat berangkat dan menjumpai Maria dan Yusuf dan bayi itu, yang sedang berbaring di dalam palungan. Dan ketika mereka melihat-Nya, mereka memberitahukan apa yang telah dikatakan kepada mereka tentang Anak itu. Dan semua orang yang mendengarnya heran tentang apa yang dikatakan gembala-gembala itu kepada mereka.”
Lukas 2:16-18
Setelah para malaikat menghampiri mereka, para gembala dari Betlehem itu berlari turun dari bukit untuk melihat bayi yang telah diberitahukan kepada mereka. Mereka dengan segera menuju tempat tersebut. Lukas 2:8-18 menyatukan pertemuan antara kemuliaan surgawi, nyanyian malaikat, dan beberapa gembala yang hanya menjaga kawanan domba. Fenomena supernatural hadir di dalam kehidupan mereka yang biasa, dan reaksi mereka sangat sederhana, seperti manusia pada umumnya, “Kita pernah mendengar hal ini; mari kita pergi melihatnya.” Seakan-akan bagi mereka peristiwa religius itu sama alaminya dengan peristiwa di dalam keseharian hidup mereka. Dan mereka pergi ke Betlehem dengan penuh semangat, hal ini tentu jelas dikarenakan fakta yang menghampiri mereka.
Mari kita membayangkan, seandainya kita sebagai para gembala yang berada pada bukit di Palestina tersebut. Kita telah melihat dan mendengar para malaikat, kemudian berlari menuju Betlehem. Dengan penuh semangat kita datang menghampiri Maria, Yusuf, dan bayi itu. Segera setelah itu kita merasa heran: Apa yang kita cari?
Pertama-tama, kita mencari bayi yang nyata. Dia bukanlah sekadar suatu ide atau pengalaman religius. Dia adalah bayi yang baru lahir yang membuat suara berisik dan tangisan ketika dia lapar. Apa yang kita cari adalah sesuatu yang nyata, sederhana, pasti, dan tuntas. Kita mencari bayi yang nyata adanya.
Tidak ada alasan untuk berpikir bahwa bayi tersebut akan menunjukkan sesuatu yang spektakuler. Seorang seniman seperti Rembrandt dapat melukis bayi itu dengan cahaya yang terpancar dari badannya, dan jika kita memahami cahaya tersebut sebagai simbolik, hal itu sudah sangat cukup. Tetapi, jika kita memikirkan lebih jauh dari hal itu, itu sangat berbahaya. Tidak ada lingkaran halo pada kepala bayi itu. Tentu saja juga tidak ada lingkaran halo pada bagian kepala Maria. Apa yang kita lihat adalah seorang ibu muda keturunan Yahudi, yang mungkin berumur 17 atau 18 tahun. Dia mungkin saja terlihat cantik atau mungkin juga tidak. Kita melihat sang suami beserta bayi kecil itu yang sama sekali tidak menunjukkan tanda yang membedakan Dia dengan bayi lainnya. Namun bayi mungil yang kita lihat sedang terbaring ini adalah seorang pribadi kedua Allah Tritunggal. Dia sendiri adalah Allah yang kekal. Bayi ini adalah Allah yang mengambil rupa di dalam daging.
Tetapi mengapa Dia mengambil jalan sedemikian, sebagai seorang bayi mungil ini? Mengapa Dia memilih untuk terbaring di dalam palungan dan dipelihara oleh seorang ibu, sebagai seorang bayi yang manis, tetapi sekaligus lemah? Dia datang dengan cara demikian karena dia datang untuk memenuhi kebutuhan utama manusia. Dia tidak datang untuk mengusir orang romawi, meskipun banyak orang Yahudi akan senang jika hal itu terjadi. Andaikan itu pun terjadi, Dia pasti datang dengan mengendarai kuda yang perkasa. Alasan utama Dia datang bukan untuk meningkatkan standar hidup dunia. Tentu jika manusia modern ingin memberi suara kepada mesias seperti yang mereka dambakan, mereka ingin Dia sekalian membawa banyak uang dari surga. Dia tidak datang hanya sekadar mengajar dan mengatasi ketidakpedulian–mungkin Dia akan datang sarat dengan banyak buku. Malaikat telah menyatakan kepada Yusuf tugas utama yang untuk itu Dia datang: “Engkau akan menamakan Dia Yesus, karena Dialah yang akan menyelamatkan umat-Nya dari dosa mereka” (Mat 1:21).
Dia hadir untuk memutuskan jalinan tali kusut dilema manusia, untuk menyelesaikan permasalahan utama yang mana semua masalah lain hadir. Manusia adalah pendosa yang membutuhkan kasih yang limpah. Yesus telah datang untuk menyelamatkan umat-Nya dari dosa-dosa mereka.
Banyak yang percaya pada-Nya ketika Dia masih bayi, dan ketika mereka melakukannya, bayi itu menjadi juruselamat mereka. Para gembala percaya, terlepas daripada kesederhanaan yang mereka pahami, “Maka kembalilah gembala-gembala itu sambil memuji dan memuliakan Allah karena segala sesuatu yang mereka dengar dan mereka lihat, semuanya sesuai dengan apa yang telah dikatakan kepada mereka” (Lukas 2:20). Meskipun mereka percaya dengan pemahaman yang lebih sedikit daripada kita yang mempunyai kitab Perjanjian Baru, dan meskipun kita mungkin berpikir mereka percaya dengan kerangka kitab Perjanjian Lama seperti yang para nabi Perjanjian Lama, namun mereka tetap percaya juga, dan mereka akan berada di surga bersama kita. Mereka bersama dengan gereja yang adalah milik Yesus Kristus.
Tetapi saya percaya masih banyak yang tidak percaya hal itu. Para gembala pasti berada pada dilema yang hebat ketika “mereka melihat-Nya, mereka memberitahukan apa yang telah dikatakan kepada mereka tentang Anak itu” (Lukas 2:17). Lukas selanjutnya memberi tahu kepada kita bahwa “semua orang yang mendengarnya heran tentang apa yang dikatakan gembala-gembala itu kepada mereka” (Lukas 2:18), dan kita tidak dapat meragukan bahwa siapa pun yang bertanya-tanya pasti nantinya terbagi menjadi 2 pihak. Beberapa percaya, sedangkan yang lainnya tidak. Beberapa pasti mengangkat bahu, ”Baiklah, tetapi saya tidak membutuhkan juruselamat.”
Saat kita sendiri berlari menuruni bukit bersama para gembala, memandang pada bayi itu, dan mendengar testimoni dari para gembala, sudahkah kita percaya? Jika iya, hal itu sungguh membahagiakan, karena itu artinya kita sekarang adalah orang Kristen. Hal itu baik, tetapi kemudian kita patut bertanya pada diri kita sendiri: adakah perbedaan ini membawa perubahan di dalam hidup kita sekarang?
Pada hari Natal, kita mempersiapkan pohon natal dan kereta mainan. Kita bahkan berjalan sambil menyanyinkan lagu-lagu natal, atau kita mungkin berkhotbah, tetapi potongan-potongan ini menjadi tidak berguna jika kita hanya memikirkan hal-hal itu saja atau bahkan hanya memikirkan berada di surga, dan tidak berhenti bertanya kepada diri kita, “Apa perbedaan yang mengubahkan hidup saya sekarang?”
Perubahan hidup macam apa yang terlihat? Saya pikir kita dapat mendekati jawaban tersebut dengan memikirkan tentang para gembala. Mendapati pengalaman yang luar biasa di tengah-tengah kehidupan normal mereka dan telah percaya kepada Sang Juruselamat; dapatkah kita membayangkan salah satu gembala itu berkata, “sangat menyenangkan saya telah melihat malaikat, dan sungguh menyenangkan saya telah melihat Kristus, seorang Mesias yang telah lama dinantikan oleh orang-orang Yahudi. Sungguh adalah sukacita, saya telah percaya kepada-Nya (tidak seperti beberapa orang lain di Betlehem) dan bahwa saya akan berada di surga. Tetapi pada prakteknya, hal itu tidak membuat perbedaan apapun di dalam hidup saya. Hal ini tak terbayangkan.
Karena para gembala ini sangat mirip dengan setiap dari kita, mereka berhadapan dengan siklus dosa di masa lampau ketika mereka kembali hidup seperti biasanya. Berdasarkan pengalaman mereka memandang wajah bayi Yesus, dalam pemahaman mereka tentang situasi itu, dapatkah kita membayangkan mereka melanjutkan hidup di dalam dosa seolah-olah itu hal yang wajar, tanpa merasa menyesal dan menyatakan pertobatan yang nyata? Saya pikir tidak. Saya akan menyarankan para gembala, dengan segala realitas yang telah mereka lihat di surga dan palungan, akan merasa menyesal atas dosa mereka di masa lampau dan bahkan lebih dari itu jika mereka berbuat dosa lagi.
Kita dapat membayangkan seorang gembala diejek oleh orang pertama yang dia beritakan ceritanya, tetapi dapatkah kita membayangkan ejekan itu menghentikan dia? Para gembala itu mungkin telah direndahkan; ejekan yang tiada henti mungkin membuatnya lelah; tetapi yang pasti, oleh karena fakta yang secara personal dia alami, dia tidak akan pernah diam.
Sementara realitas dari semua ini ada pada para gembala, saya pikir doa akan menjadi pengalaman yang sangat sederhana. Komunikasi dengan Allah akan menjadi mudah karena mereka telah melihat hal-hal yang supernatural. Karena jika para gembala mendengar para malaikat, mengapa sekarang Tuhan tidak mendengar para gembala?
Setelah melihat kemulian bala tentara sorgawi, dapatkah seorang gembala menganggap dirinya pusat alam semesta, mengharapkan segala sesuatunya berjalan sesuai dengan keinginan dia? Kemuliaan itu terlalu luar biasa. Berhadapan dengan kemuliaan surgawi, para gembala Betlehem pasti tidak akan menyangka mereka dapat mengemudikan gerobak kecil mereka melalui seluruh alam semesta ini, menancapkan secara kasar di atas tempat-Nya Tuhan.
Demikian pula, sulit membayangkan para gembala bertengkar tentang hak prerogatif pribadi. Saya tidak dapat membayangkan dihadapkan dengan kemuliaan sorgawi dan Juruselamat dunia dan kemudian langsung berkata kepada orang lain, “Saya yang pertama, kawan. Saya yang pertama.”
Setelah melalui pengalaman ini, apakah para gembala akan menerima materialisme sebagai filsafat yang memadai atau hal praktis yang dapat diterapkan dalam kehidupan? Bukankah melihat kemuliaan surgawi akan merombak ulang standar nilai seseorang? Menggenggam emas yang bergemerincing di dalam saku dan para malaikat yang bernyanyi di surga adalah sesuatu yang saling bertolak belakang.
Malaikat tersebut telah berkata kepada mereka, “Jangan takut, sebab sesungguhnya aku memberitakan kepadamu kesukaan besar untuk seluruh bangsa: Hari ini telah lahir bagimu Juruselamat, yaitu Kristus, Tuhan, di kota Daud” (Lukas 2:10-11). Adalah sukacita berbagian di dalamnya. Pastinya para gembala juga ikut bersukacita.
Hal ini bukan berarti kebahagiaan yang bodoh atau senyuman yang sinis, juga bukan berarti tidak ada air mata atau hal-hal di dunia ini yang tidak seburuk apa yang dikatakan oleh Tuhan. Sukacita ini terhubung dengan realitas atas pengenalan kita terhadap siapa Yesus, relasi kita dengan Dia, dan penyembahan kita pada-Nya.
Bayangkan kamu adalah gembala yang berada di bukit tersebut, dan ketika bala tentara surga itu menampakkan diri, kamu tidak merasa takut; kamu bersukacita.
Hal itu sama dengan semua pengajaran dari Injil yang mengalir dari peristiwa di mana para gembala melihat dan mendengar suara malaikat, ketika mereka berlari turun dari bukit dan memandang kepada Yesus. Inilah perbedaan yang terjadi di dalam hidup kita. “Dan mereka menyembah Dia… dengan sukacita yang besar.”
Oleh: Francis Shaeffer