Minggu, 21 Januari 2024
Pengkhotbah: dr. Diana Samara
Ayat Alkitab: Roma 8:9-11, 1 Korintus 6:19-20
Kita mungkin pernah diajak untuk doa puasa (biasanya saat menjadi panitia di acara gereja). Mungkin banyak orang yang respons pertamanya adalah memikirkan tentang tubuh ini.
“Duh, saya kan ada penyakit maag. Mana mungkin bisa puasa?”
“Wah, mana bisa saya menahan rasa lapar selama berjam-jam seperti itu?!”
“Hah? Puasa? Bisa pingsan deh saya di kampus/kantor.”
Namun, jika berkaitan dengan suatu hal yang kita suka atau dianggap penting bagi diri kita, kita mungkin sering melupakan tubuh ini dengan sukarela. Misalnya, kita bisa tahan untuk tidak makan dan minum selama berjam-jam saat sedang asik bermain game di gadget. Jika ada tugas atau ujian, kita juga rela begadang berhari-hari, bahkan puasa (tidak memikirkan makan/minum) demi mendapatkan nilai yang baik. Banyak pula orang tua, terutama seorang ibu, yang sama sekali tidak memikirkan tubuhnya ketika sang buah hati sedang sakit.
Jadi, sebenarnya kita sanggup melupakan tubuh kita. Hanya saja kita sering tidak rela jika melakukannya untuk Tuhan atau pekerjaan Tuhan. Ini karena kita tidak mengerti makna doa puasa dan bagaimana memakai tubuh ini bagi Tuhan. Kita dapat melihat teladan dari Tuhan Yesus. Ia pernah dipimpin oleh Roh Kudus ke padang gurun untuk dicobai oleh Iblis dan berpuasa selama 40 hari. Waktu Ia merasa lapar dan Iblis menawarkan untuk mengubah batu menjadi roti, Ia tidak fokus kepada tubuh-Nya melainkan Ia berkata, “Manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah.” Tuhan Yesus berpuasa tanpa memikirkan dampak negatif terhadap tubuh-Nya, Ia justru memfokuskan pikiran dan hati-Nya kepada firman untuk mempersiapkan diri-Nya melayani dan menggenapi kehendak Allah Bapa.
Tuhan Yesus mau mengajarkan kepada kita bahwa tubuh ini seharusnya dipakai untuk melayani Tuhan dan bukan untuk dilayani. Tentu saja bukan berarti kita menjadi tak acuh sama sekal idengan kesehatan dan keadaan tubuh kita. Jadi, mari kita bertanya kepada diri kita: kita pakai tubuh kita untuk apa? Untuk dilayani atau untuk melayani? Dan saat kita melupakan tubuh kita, apakah kita melakukannya karena mengejar sesuatu yang fana atau yang kekal? Semoga kita bisa mulai berani memaka itubuh kita untuk fokus kepada Tuhan dan pekerjaan-Nya, sekalipun itu berarti kita harus mengabaikan tubuh kita.
Refleksi oleh: Hanshen Jordan