Minggu, 14 April 2024

Pengkhotbah: dr. Diana Samara

Ayat Alkitab: Roma 8:12-17

 

Pada zaman Romawi, seseorang hanya bisa mengadopsi anak yang sudah berusia remaja. Bukan hanya itu syaratnya, orang itu juga harus menghapus semua hutang dan tanggung jawab dari status yang lampau sang anak. Ia juga harus memberikan status yang baru beserta hak, tanggung jawab, bahkan warisannya kepada anak tersebut. Karena itu sang anak pasti sadar betul dan mengerti tentang apa yang dilakukan oleh orang tua angkatnya demi mengadopsi dirinya.

 

Kesadaran akan harga yang dibayar ini membuat hubungan antara orang tua angkat dan sang anak adopsi tidak bisa diputuskan. Hal ini pula yang mendasari sukacita, cinta, dan rasa tanggung jawab dari sang anak adopsi terhadap orang tua angkatnya. Sekalipun hanya anak adopsi, mereka ditunjuk untuk memperoleh berkat dengan meneruskan keturunan, kuasa, dan tugas dari orang tua angkatnya.

 

Paulus mengatakan bahwa kita adalah anak yang diadopsi. Roma 8:15 dalam versi bahasa Inggris (KJV) menyatakan “for you did not receive the spirit of slavery leading again to fear, but you received the Spirit of adoption, by whom we cry, “Abba, Father.” Ini artinya, kita telah diadopsi oleh Allah ketika kita percaya kepada Kristus, Sang Juruselamat, melalui karya Roh Kudus, sehingga, kita juga boleh memanggil Allah sebagai Bapa, sama seperti Kristus memanggil Bapa. Allah menghapus status kita yang lampau sebagai budak dosa yang seharusnya menerima penghakiman dan kematian kekal, dan memberikan kepada kita status yang baru sebagai anak yang mendapatkan pengampunan dan hidup kekal bersama Allah. Status kita sebagai anak yang diadopsi Allah ini tidak akan pernah Ia tarik kembali.

 

Bukankah pengadopsian ini seharusnya menyadarkan kita untuk bersukacita dan mencintai Allah? Bukankah pengadopsian ini seharusnya menyadarkan kita bahwa sekarang kita memiliki tanggung jawab untuk meneruskan kuasa dan tugas yang Allah berikan? Alih-alih berbuat demikian, kita malah sering kali menjalani hidup ini seperti status lama kita sebagai budak dosa dan menolak melakukan kehendak-Nya. Kita membuat berbagai alasan, “Tetapi Allah, saya tidak  cukup pintar melakukan tugas ini.” Namun, apa pun alasannya, penolakan ini hanya menunjukkan bahwa kita sudah menjadi anak yang tidak tahu diri dan tidak mengerti harga dari pengadopsian kita. Demi mengadopsi kita menjadi anak-Nya, Allah rela meninggalkan Anak Tunggal-Nya, yaitu Kristus, mati di atas kayu salib. Kristus rela mati menggantikan kita dan menebus dosa kita. Ia kemudian bangkit pula supaya kita pun beroleh hidup kekal. Roh Kudus juga sudah turun untuk menguatkan dan memampukan kita melakukan kehendak-Nya.

 

Maka, seharusnya kita senantiasa siap untuk taat melakukan kehendak-Nya, dan bahkan melakukannya dengan bangga karena kita sudah diadopsi menjadi anak-Nya dan dipercaya untuk mengemban tugas/beban yang hanya Ia anugerahkan kepada anak-anak-Nya.

 

Mari kita renungkan akan apa sesungguhnya makna pengadopsian kita dan mengubah kebiasaan kita mengatakan “tetapi Allah…” menjadi “ya Allah, saya siap melakukan kehendak-Mu!” Kiranya Allah menyertai kita. Amin.

 

 

Refleksi oleh: Rachel Panie