“Sungguh, gembala-gembala sudah menjadi bodoh, mereka tidak menanyakan petunjuk TUHAN. Sebab itu mereka tidak berbahagia dan seluruh binatang gembalaan mereka cerai-berai.”[1]
Nabi Yeremia sedang memaparkan dengan setepat-tepatnya apa yang dialami oleh gereja pada saat ini. Selain dari kekacauan doktrin yang melanda gereja pada hari ini, ada suatu hal lain yang sangat kurang diperhatikan di kalangan pendeta pada saat ini. Di dalam gereja, tugas seorang pendeta salah satunya adalah menggembalakan. Sebagai penggembala, pasti pada suatu saat tertentu dia akan menemukan dirinya di dalam situasi di mana dia harus menghadapi jemaatnya untuk dikonseling mengenai hal-hal tertentu yang bersifat pribadi. Secara umum, orang di dalam gereja yang menemui kesulitan dalam hidupnya pasti akan pergi untuk menemui seseorang yang dianggap kompeten dan di dalam gereja, orang yang paling kompeten dalam mengkonseling orang seharusnya adalah pendeta di dalam gereja itu. Tetapi tugas ini malah diserahkan kepada para psikiater dan sejak saat itu mereka merampas pelayanan yang sangat berharga dari gereja. Kita melihat pada hari ini tidak banyak gereja yang melakukan hal ini. Sebagai hal yang dipercayakan kepada gereja oleh Tuhan, pelayanan ini tidak boleh terus-menerus dipegang oleh mereka. Orang Kristen harus merebutnya kembali.
Apa yang sebenarnya disebut dengan konseling? Secara singkat, konseling dapat dimengerti sebagai situasi di mana setiap orang Kristen menjalankan fungsi gembalanya yang dimampukan oleh Roh Kudus[2] untuk saling menasihati. Kita semua mengerti bahwa proses konseling bertujuan untuk mengubah seseorang. Pertanyaan selanjutnya adalah mengubah seseorang menjadi apa? Setiap psikiater di luar sana mempunyai standar yang berubah-ubah dan standar yang mereka pakai pun tidak jelas dan dapat berubah sewaktu-waktu. Roma 8:29 mengatakan, “Mereka yang telah dipilih oleh Allah, telah juga ditentukan dari semula untuk menjadi serupa dengan Anak-Nya, yaitu Yesus Kristus. Dengan demikian Anak itu menjadi yang pertama di antara banyak saudara-saudara.” Itulah tujuan akhir yang seharusnya kita capai. Maka dengan menyerahkan domba-domba kepada seseorang yang mempunyai tujuan akhir yang lain dari Roma 8:29 sama artinya dengan menyetujui bahwa orang Kristen tidak harus menjadi seperti Kristus. Bukankah hal ini merupakan sebuah dosa? Dan setuju terhadap dosa itu sendiri adalah dosa.[3]
Meskipun sebenarnya konseling adalah tugas dari semua orang Kristen[4], namun hari ini kita akan berfokus pada konseling dari sisi penggembalaan yang dilakukan oleh pendeta dalam fungsi pengembalanya. ποιµήν[5] (poimen) adalah satu kata yang dipakai untuk menggambarkan tugas pastor dan memang kata poimen ini sendiri berarti gembala. Seorang gembala yang baik adalah gembala yang mengenali setiap dombanya dan mengetahui kebutuhan spesifik setiap domba yang ada di dalam tanggung jawabnya. Seorang gembala harus dengan sadar menguasai ladang yang dia gunakan untuk memberi makan kawanan dombanya. Sang gembala juga harus mengerti apakah medan yang harus ditempuh untuk menuju ke suatu tempat berbahaya dan dapat mengakibatkan domba-dombanya tersesat atau jatuh ke jurang. Dia juga harus mengetahui binatang-binatang apa saja yang berkeliaran di tempat itu, dan apakah binatang-binatang ini akan membawa kebahayaan tersendiri kepada domba-dombanya. Gembala yang baik sebagaimana digambarkan oleh Mazmur membawa dombanya ke padang rumput dan ke tepi sungai yang tenang dan membawa domba yang tersesat keluar dari lembah kekelaman. Tetapi tidak hanya berhenti sampai di sana, gembala juga siap bertarung dengan apa pun yang mengancam kawanan dombanya dengan tongkatnya dan menarik mereka dari terkaman musuh dengan gadanya.
Sama seperti contoh gembala yang baik di atas, seorang pendeta yang baik tidak boleh menyerahkan tugas ini kepada orang lain. Kesulitan yang dihadapi oleh banyak pendeta hari ini dalam bidang konselling adalah kurangnya kemampuan untuk mengkonseling jemaatnya sehingga sering kali apa yang dilakukan oleh para pendeta yang memanggil dirinya sebagai gembala ini merupakan sesuatu yang sangat keliru. Kebanyakan dari pendeta ketika ditemui oleh jemaat yang berbeban berat malah menganjurkan mereka untuk menemui psikiater. Kebanyakan gembala gereja sama sekali tidak menyadari implikasi dari tindakan mereka. Banyak psikiater di luar sana yang sama sekali tidak berlatar belakang Kristen bahkan melawan Tuhan. Ketika seseorang diperhadapkan untuk menyelesaikan masalah orang lain, maka hal pertama yang harus dia mengerti adalah siapa itu manusia. Dan satu-satunya cara untuk mengerti identitas manusia adalah melalui Alkitab di mana di dalamnya Allah menyatakan panduan tentang hidup kita. Poin yang disebutkan di atas tadi menjadi dasar iman kita. Orang Kristen percaya bahwa Alkitab tidak bersalah sedikit pun dan orang-orang yang berkecimpung di dalam psikologi yang tidak percaya kepada Allah pasti mempunyai presuposisi tentang manusia yang lain dari Alkitab. Sadarkah Anda akan apa yang sedang terjadi di sini? Para psikiater sedang bertheologi! Mereka sedang menafsir seluruh realitas hidup dari sudut pandang yang bukan Alkitab! Hal-hal seperti ini sering kali tidak disadari oleh gembala dan dapat menjadi ancaman yang sangat besar. Apakah Anda akan menyuruh anak Anda yang ingin menikah untuk pergi dan konsultasi kepada seorang tua-tua dari aliran saksi Yehova atau Mormon? Pasti tidak! Kenapa? Karena theologi mereka melenceng. Apa yang disebut dengan theologi di sini? Yang dimaksud ialah pengenalan seseorang tentang Allah. Tidak mungkin seseorang yang tidak memegang Alkitab sebagai presuposisinya dapat memercayai dan mengenal Allah dengan sejati. Ketika kita tidak mengenal Allah yang sejati, mungkinkah kita bisa menyelesaikan masalah dengan tuntas? Tidak mungkin karena semua manusia adalah ciptaan yang telah jatuh dalam dosa dan di dalam Theologi Reformed kita percaya bahwa dosa telah mengakibatkan kerusakan total manusia (total depravity of man) yang berarti semua aspek manusia, baik rasio, kehendak, dan emosi telah rusak. Manusia meskipun masih mampu melakukan kebaikan relatif karena kerusakan yang diakibatkan dosa ini, manusia tidak mungkin melakukan kebaikan absolut yang dituntut oleh Allah. Ketika hati manusia yang rusak ini, hati yang disetir oleh dosa ini menghadapi permasalahan, pasti tidak mempunyai kekuatan untuk melawannya. Satu-satunya jalan keluar adalah dengan membawa orang yang sedang mempunyai masalah ini untuk melihat kepada Kitab Suci yang adalah wahyu Allah yang sudah lengkap dan “segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan, dan untuk mendidik orang dalam kebenaran.”[6] Maka dari itu, orang Kristen dalam menghadapi masalahnya harus terlebih dahulu dan terutama mencari jawaban atas permasalahannya dari Alkitab dan Roh Kudus yang akan memimpinnya dan memampukannya untuk berubah semakin serupa seperti Kristus. John Owen di dalam buku-bukunya menekankan pentingnya mematikan dosa (mortification of sin) dan menghidupkan buah-buah Roh (vivification)[7] dan ini juga semakin memperjelas bahwa konseling merupakan sebuah proses di mana orang Kristen kembali disadarkan untuk terus mengingatkan dirinya dan sesama saudara seiman bahwa dia hidup dalam proses progressive sanctification yang hanya dimampukan oleh Roh Kudus sebagai salah satu benefit di dalam persatuan kita dengan Kristus (union with Christ).
Ryan Putra
Pemuda FIRES
Endnotes
[1] Yeremia 10:21.
[2] Roma 15:14: Saudara-saudaraku, aku sendiri memang yakin tentang kamu, bahwa kamu juga telah penuh dengan kebaikan dan dengan segala pengetahuan dan sanggup untuk saling menasihati.
[3] Jay E. Adams, Competent to Counsel.
[4] Galatia 6:1: Saudara-saudara, kalaupun seorang kedapatan melakukan suatu pelanggaran, maka kamu yang rohani, harus memimpin orang itu ke jalan yang benar dalam roh lemah lembut , sambil menjaga dirimu sendiri, supaya kamu juga jangan kena pencobaan.
[5] poimen – properly, a shepherd (“pastor” in Latin); (figuratively) someone who the Lord raises up to care for the total well-being of His flock (the people of the Lord).
[6] 2 Timotius 3:16.
[7] Khususnya dalam bukunya “The death of the death in the death of Christ”.