“Ahh, elu mah terlalu idealis, masih mahasiswa sih… coba kalau udah kerja… rontok tuh idealisme elu..”
“Setuju sih kalo itu emang benar, tapi kita harus realistis dong .. kan ini dunia berdosa.. mana bisa kita benar-benar murni menerapkan firman Tuhan sampai sedemikiannya…”
Saya yakin kalimat-kalimat di atas tidak asing lagi bagi kita. Atau bahkan mungkin kalimat-kalimat itu pernah keluar dari mulut kita sendiri. Pertanyaannya adalah apakah memang benar demikian bahwa suatu kebenaran pasti sulit untuk diaplikasikan sepenuhnya, atau lebih tepatnya cenderung kita katakan bahwa selama kita hidup di dunia yang berdosa ini kita tidak mungkin bisa ideal menjalankan kebenaran? Jadi memang wajar jika perlu ada sedikit kompromi (atau kalau mau pakai bahasa halus: “bijaksana”)?
Membicarakan ini saya jadi teringat kalimat Tuhan Yesus dalam Yohanes 14:15 “Jikalau kamu mengasihi Aku, kamu akan menuruti segala perintah-Ku.” Kalimat yang sangat jelas, clear…. Hal yang sama juga dapat kita lihat dari terjemahan lain:
NIV John 14:15 “If you love me, you will obey what I command.”
KJV John 14:15 “If ye love me, keep my commandments.”
Secara sederhananya coba pikirkan begini: “Apakah kalimat Tuhan Yesus ini mengandung pengecualian?” Dalam arti apakah perintah untuk menaati firman-Nya ada bagian yang kita tidak perlu taat sepenuhnya karena di tengah dunia berdosa? Terlalu idealiskah bila memimpikan untuk taat sepenuhnya kepada firman Tuhan di tengah dunia berdosa ini? Bila iya, apakah itu berarti seluruh pemikiran yang ideal itu perlu kita tanggalkan? Lalu mencoba memberikan standar baru yang tidak ideal sehingga bisa teraplikasikan?
Ketika penciptaan (creation), manusia sepenuh-penuhnya ideal menjalankan firman Tuhan, sesuai dengan apa yang Tuhan mau karena manusia adalah imago Dei (peta teladan Allah) yang “sungguh amat baik”. Tidak ada suatu gap antara keberadaan dunia tempat di mana Adam dan Hawa tinggal yang membuat mereka harus berpikir keras dan mengeluarkan “kebijaksanaan”-nya untuk membuat agar firman Tuhan dapat diaplikasikan sesuai kondisi saat itu. Yang ada adalah seluruh yang dipikirkan mereka, seluruh yang dirasakan, seluruh yang dikehendaki, seluruh yang dikerjakan, seluruhnya ideal, sesuai dengan yang Tuhan mau.
Namun semuanya itu menjadi suram ketika manusia jatuh ke dalam dosa. Tidak ada lagi yang ideal dalam hidup manusia, dalam arti manusia tidak lagi mempunyai pikiran, perasaan, kehendak, dan tindakan yang sesuai dengan maunya Tuhan. Manusia menghidupi hidupnya sesuai dengan kehendaknya sendiri. Bicara ideal? Ada… tapi itu hanya untuk teori, hanya untuk dalam angan-angan, dan tidak untuk dihidupi. Plato mengatakan bahwa ada yang namanya dunia ide. Tapi itu di dunia sana bukan di dunia sini. Dunia sini menjalankan berdasarkan apa yang ada di dunia sini. Dunia ide biarkanlah hanya menjadi ide.
Maka, dalam kehidupan sehari-hari kita akan melihat setiap manusia akan memakai standarnya/idenya/idealnya sendiri untuk mencapai apa yang dia mau. Bahkan sekalipun ada standar yang disepakati bersama, selalu saja ada penyelewengan-penyelewengan dengan berbagai alasan seolah-olah alasan-alasan tersebut benar-benar harus diakui keabsahannya dan pantas untuk diterima kelayakannya. Inilah dunia yang sudah jatuh dalam dosa: I am the law.
Tetapi ketika seseorang dilahirbarukan, berpindah dari kematian kepada hidup, dia mulai menjalani proses kembali hidup bagi Allah. Dari hidup yang berfokuskan diri, kriteria ideal berdasarkan kriteria diri, kini berpindah kepada fokus kepada Allah, ideal yang sesuai dengan kehendak Allah. Di sinilah akan terjadi benturan demi benturan di dalam hidupnya, baik benturan dari sekitar yang tidak bisa menerima idealnya sesuai kehendak Allah maupun benturan dari diri sendiri yang masih dalam proses bergumul dalam kedagingan yang masih terus bercokol.
Di dalam hal ini hati kita berperan sangat dominan, kepada siapa dia masih berpaut, kepada dialah seluruh hidup ini akan tertuju. Mereka yang telah mengalami penebusan tetapi hatinya masih sulit meninggalkan dunia (sulit menerima untuk diabaikan atau mengabaikan dunia) akan “menurunkan” idealnya firman Tuhan. Padahal kalau kita balik lagi melihat kalimat Tuhan Yesus di atas tadi, apa pun itu tanpa alasan, tanpa kecuali, setiap orang yang telah mengalami penebusan (yang menjadi murid Kristus) haruslah menaati firman-Nya (seutuhnya). Dengan demikian proses menuju “taat sepenuhnya” merupakan suatu keharusan dan ternyatakan dalam hidup sehari-hari, demikian juga benturan-benturan akan nyata dan tidak terelakkan.
Di sisi yang lain ketika ada seseorang yang telah mengalami kelahiran kembali dan mau belajar hidup ideal dengan belajar menaati firman Tuhan dengan sepenuh-penuhnya di tengah lingkungan yang tidak takut akan Allah, dia akan mengalami berbagai ejekan, fitnah, tekanan, dan sebagainya.
Sering kali bahkan di lingkungan orang percaya pun tidak ada bedanya dalam memperlakukan seseorang yang sedang sungguh-sungguh menjalani ketaatan terhadap firman Tuhan. Orang ini akan mengalami hinaan, fitnah, ejekan, disalah mengerti, dikucilkan, dan sebagainya. Pelabelan sebagai Farisi modern, ekstrem, sempit, kaku, atau fanatik pun bermunculan.
Pertanyaannya, benarkah kita tidak perlu sampai seideal begitu? Kenapa? Karena ideal itu tidak mungkin tercapai? Karena kita masih terikat dengan tubuh berdosa dan berada di dunia berdosa? Jikalau demikian, apakah ini tidak berarti secara tidak langsung kita sedang menuding penebusan Kristus di atas kayu salib tidak sanggup membuat kita mampu hidup ideal sesuai dengan firman-Nya? Atau Kristus kurang mengerti konteks dunia berdosa ketika memberikan perintah tersebut, walaupun saat Dia mengatakannya adalah saat Dia sedang berada di tengah dunia berdosa?
Mari kita lihat dalam 1 Korintus 6:19-20 “Atau tidak tahukah kamu, bahwa tubuhmu adalah bait Roh Kudus yang diam di dalam kamu, Roh Kudus yang kamu peroleh dari Allah, dan bahwa kamu bukan milik kamu sendiri? Sebab kamu telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar: Karena itu muliakanlah Allah dengan tubuhmu!” Ayat ini menunjukkan bahwa penebusan Kristus bagi kita adalah lunas, tidak ada bagian dari hidup kita yang tertinggal untuk ditebus. Setelah mengalami penebusan maka berikutnya adalah perintah: muliakanlah Allah dengan tubuhmu!
Pdt. Dr. Stephen Tong pernah mengatakan bahwa sebagai orang Kristen kita harus memiliki tulang punggung, harus mempunyai gigi. Artinya dalam menjalankan firman Tuhan kita harus berani tegas, tidak mudah kompromi, tidak ikut arus, tidak menurunkan “kualitas” firman Tuhan dalam mengaplikasikannya. Jika tidak, kita yang akan digeser dan ditelan oleh zaman.
Lalu bagaimana dengan ideal itu? Setuju sekali kalau sepanjang kita hidup di dunia kita tidak akan bisa mencapai yang seideal-idealnya seperti di masa creation. Tetapi hidup kita sebagai orang yang telah mengalami penebusan, mata kita harus tertuju kepada consummation.
Dengan mata yang tertuju kepada consummation, maka meski kita sadar selama hidup di dunia kita mungkin tidak bisa mencapai ideal itu tetapi seluruh semangat hidup kita harus terarah kepada ideal itu. Dengan sendirinya orang yang demikian selama ia hidup di dunia yang berdosa ini dengan keterbatasan tubuhnya yang berdosa, dia tetap memiliki semangat hidup untuk menjalankan kebenaran semaksimal dia yang dia sadar kelak ideal itu akan ia dapatkan ketika bertemu dengan Tuhannya Sang Juruselamat yang sudah menebusnya, dan memberikan kemampuan kepadanya untuk hidup sepenuh-penuhnya dalam menjalankan kebenaran tanpa menurunkan kualitas kebenaran.
Di manakah hidup kita sekarang? Hidup dalam kematiankah atau hidup dalam redemption? Mari kita menghidupi redemption itu dengan benar. Kekuatan kuasa penebusan Kristus tidak akan pernah layu dalam memampukan kita untuk menghidupi kebenaran secara semaksimal mendekati ideal.
1 Korintus 15:54-58 Dan sesudah yang dapat binasa ini mengenakan yang tidak dapat binasa dan yang dapat mati ini mengenakan yang tidak dapat mati, maka akan genaplah firman Tuhan yang tertulis: “Maut telah ditelan dalam kemenangan. Hai maut di manakah kemenanganmu? Hai maut, di manakah sengatmu?” Sengat maut ialah dosa dan kuasa dosa ialah hukum Taurat. Tetapi syukur kepada Allah, yang telah memberikan kepada kita kemenangan oleh Yesus Kristus, Tuhan kita. Karena itu, saudara-saudaraku yang kekasih, berdirilah teguh, jangan goyah, dan giatlah selalu dalam pekerjaan Tuhan! Sebab kamu tahu, bahwa dalam persekutuan dengan Tuhan jerih payahmu tidak sia-sia.
Marilah kita menjadi murid Kristus yang memimpikan ideal itu dan mengerjakannya dalam hidup dengan mata tertuju kepada ideal itu. Perintah Tuhan adalah menjalankan segala perintah-Nya. Mari hidup mengejar penggenapan seluruh perintah-Nya dalam hidup kita, walaupun kita sadar dalam keberdosaan kita hanya akan mendekati penggenapannya. Kiranya Tuhan memberikan kepada kita cinta kasih yang cukup untuk mengasihi-Nya dan mengejar maksimal menjalankan segala perintah-Nya selama kita masih hidup dalam penantian akan kedatangan-Nya kedua kali.
dr. Diana Samara
Pembina FIRES
Mahasiswi STT Reformed Injili Internasional