Belum lama ini kita telah dibuat terpesona dan berdecak kagum akan Aula Simfonia Jakarta beserta serentetan acara musik yang dipentaskan di sana. Kini disusul dengan diresmikannya museum Sophilia Fine Art Center Jakarta dengan beribu benda antik dan bersejarah yang terpampang di sana. Baru saja kita ditakjubkan dengan concert hall yang bertaraf internasional dan diperdengarkan berbagai oratorio dan mass yang agung, kini kita diperlihatkan pula berbagai hasil mahakarya lukisan yang begitu menawan serta barang-barang kebudayaan berpuluh-puluh abad yang lampau. Ini semua menyatakan Tuhan yang teramat besar dan berkat-Nya yang teramat limpah di dalam anugerah umum-Nya dalam segala zaman sepanjang sejarah umat manusia. Namun yang harus dipertanyakan adalah, apakah kita sebagai penerima anugerah yang berlimpah itu sudah menyiapkan diri sebaik-baiknya untuk menerima berkat itu?
Jika ditanya untuk apa gereja mendirikan gedung konser atau museum, kita tentu akan menjawab “demi menjalankan mandat budaya”. Tapi apakah benar mandat budaya sudah dijalankan dengan didirikannya kedua gedung tersebut? Mungkin pertanyaan yang lebih tajam yang harus kita pikirkan adalah: apakah dengan didirikannya kedua gedung tersebut, kita sendiri sebagai orang Kristen sudah bermandat budaya? Apa kaitannya antara didirikannya gedung kesenian dan budaya oleh gereja dengan kita sebagai anggota gereja?
Manusia adalah makhluk budaya… Kalimat ini sudah sangat sering kita dengar, namun kita harus teliti lagi apakah kita telah sungguh-sungguh berbudaya seperti yang Tuhan kehendaki. Kita tidak boleh lupa status kita sebagai image of God yang artinya dalam berbudaya pun kita harus bisa menjadi representasi Tuhan. Pdt. Stephen Tong berulang kali mengatakan lewat mimbar bahwa kebudayaan adalah respons manusia terhadap wahyu umum atau ciptaan Allah. Maka pertanyaannya adalah, dengan dasar apakah kita harus merespons ciptaan Allah ini? Jika kita tahu bahwa setiap manusia memiliki potensi untuk berbudaya yaitu dengan kreativitas dan keahlian yang tinggi dalam membuat sebuah karya seni, bagaimana pula kita sebagai orang Kristen meresponsnya?
“Alkitab bukan hanya membicarakan soal masuk sorga dan soal kepercayaan saja. Alkitab juga mengajar kita memakai prinsip firman Allah yang orisinil untuk menyelesaikan masalah-masalah yang timbul, baik di bidang politik, masyarakat, seni dan lain-lain. Kita perlu memahami bukan hanya sistematika theologi tradisionil yang membahas tentang keselamatan, Kerajaan Allah, dan rencana Allah yang kekal, tetapi juga topik-topik yang berkenaan dengan konsep politik, konsep nilai, konsep kebudayaan, maupun konsep sejarah.” – Pdt. Dr. Stephen Tong
Kutipan di atas menjawab bahwa tentu Alkitablah yang harus menjadi dasar, standar, serta otoritas akan bagaimana kita melihat seluruh kebudayaan yang ada. Satu-satunya jalan untuk menjalankan mandat budaya dengan benar harus dimulai dengan melihat segala ciptaan Tuhan dengan “kacamata” dan pedoman firman Tuhan. Maka pada pembahasan kali ini, kami akan membahas seni (art) dalam kaitannya dengan museum yang baru saja diresmikan. Apakah dengan masuk dan menginjakkan kaki di museum sebelah Gereja Reformed Injili Indonesia adalah sama dengan bermandat budaya? Apakah bermandat budaya adalah sama dengan ketika saya sudah melihat dan berfoto dengan guci ini, guci itu, dengan patung ini dan patung itu, dengan lukisan ini dan lukisan itu… serta fotonya sudah saya upload di facebook loh! Kalau demikian, artinya kita sebagai orang Kristen tidak melakukan sesuatu yang berbeda dengan orang dunia. Ketika kita melihat guci, piring keramik, dan lukisan, apa yang seharusnya kita lihat? Atau mungkin lebih umum lagi, waktu kita melangkahkan kaki masuk ke dalam sebuah museum atau gedung kesenian, apakah yang harus menjadi perhatian kita? Apa yang kita cari dan apa pula yang akan kita temui? Karya seni tidak pernah hanya sekadar menampilkan warna dan bentuk yang indah untuk dinikmati. Lebih dari sekadar keindahan, seni membawa pesan. Pesan itulah yang harus kita temukan dan kita pelajari.
Seni merepresentasikan zaman artinya seni memperlihatkan dan membawa pesan bagaimana semangat daripada zaman tersebut. Semangat zaman memengaruhi setiap orang yang ada di dalam zaman tersebut, termasuk di dalamnya adalah para seniman. Tidak bisa tidak, setiap seniman akan menghasilkan karya seni yang mencerminkan semangat zaman di mana ia hidup. Tidak ada manusia yang netral, maka tidak ada hasil karya tangan manusia yang netral. Pada waktu dan tempatnya, karya seni sendiri bisa menjadi suatu pengaruh bagi kebudayaan manusia pada zaman selanjutnya. Maka bisa dikatakan “hidup membentuk seni dan seni membentuk hidup”.
Seni sendiri bukanlah sesuatu yang Allah larang, sebaliknya Alkitab mencatat bahwa Allah memerintahkan manusia untuk berkreasi secara estetis ketika bangsa Israel diperintahkan untuk membangun Bait Allah, khususnya kepada Bezaleel dan Aholiab pada waktu itu. Alkitab juga mencatat bahwa tidak semua orang diberikan karunia yang sama seperti Bezaleel dan Aholiab. Sampai hari ini pun kita dapat melihat bahwa tidak semua orang diberikan karunia untuk menjadi seniman. Di satu sisi adanya seniman yang menghasilkan karya seni artinya ada juga orang-orang yang dimaksudkan untuk menikmati karya seni tersebut. Di sinilah kita harus mulai memikirkan lagi apa artinya “menikmati”. Sama seperti Aholiab dan Bezaleel taat kepada perintah Allah sampai ke detilnya untuk mengerjakan “artwork”, demikian kita juga harus merespons secara detail setiap “artwork” yang ada sesuai dengan dasar firman Tuhan. Sebagaimana “artwork” Bezaleel dan Aholiab mencerminkan pekerjaan Allah maka karya seni manapun juga akan mencerminkan siapa yang menjadi “tuan” atas seniman pembuatnya. Van Til mengatakan bahwa di dunia ini, jika bukan Tuhan yang menjadi tuannya maka setanlah tuannya. Maka seperti yang sudah disebutkan di atas, ketika melihat suatu karya seni, ada “pesan” yang akan kita temui di dalamnya. Lalu pertanyaannya, pesan yang macam apa; atau dalam bahasa rohani, pewahyuan macam apa yang tersimpan dalam sebuah karya seni?
Di dalam Theologi Reformed ada dua macam wahyu dan kami percaya istilah wahyu umum dan wahyu khusus sudah tidak asing lagi bagi pembaca. Jika memang ternyata masih asing, kami akan memberikan penjelasan secara ringkas. Wahyu umum biasanya dimengerti sebagai pernyataan diri Allah kepada manusia melalui fakta-fakta, hukum alam, sejarah, dan segala sesuatunya tanpa komunikasi verbal dari Allah, atau dengan sederhana adalah pernyataan diri Allah melalui ciptaan-Nya. Wahyu khusus adalah Kristus dan Alkitab, jika ingin lebih mendetail lagi adalah seperti waktu Allah berbicara langsung kepada Adam dan nabi-nabi, dan juga waktu Yesus melakukan mujizat. Tetapi kita harus berhati-hati ketika berbicara tentang wahyu karena sebenarnya kedua jenis wahyu ini tidaklah dapat dipisahkan. Cornelius Van Til mengatakan bahwa wahyu umum dan wahyu khusus adalah satu kesatuan karena berasal dari Allah yang sama. Sebenarnya tidak ada wahyu umum tanpa wahyu khusus, dan tidak ada wahyu khusus tanpa wahyu umum. Karena wahyu berbicara mengenai Allah dan manusia (Creator dan creature), bukan antara pribadi dalam Tritunggal sehingga manusia perlu suatu medium (wahyu umum) untuk mengerti wahyu khusus. Ketika Allah berbicara (wahyu khusus) pada Adam dan nabi-nabi, Ia menggunakan bahasa manusia (wahyu umum). Anak Allah pun datang menggunakan tubuh manusia pada umumnya dan bicara dengan bahasa manusia (wahyu umum). Maka pengertian manusia tentang ilmu-ilmu dan fakta sejarah tanpa kacamata Alkitab tidak akan membawa manusia itu pada wahyu umum. Jika segala sesuatu yang dimengerti oleh manusia tanpa tahu kaitannya dengan Alkitab, maka itu bukanlah pengetahuan sama sekali. Demikian sebaliknya, pengertian kita tentang Alkitab pun akan sangat minim atau bahkan salah jika tidak mau mempelajari latar belakang sejarah penulisan, budaya, dan bahasa asli Alkitab. Oleh karena itu kita harus melihat wahyu umum dan wahyu khusus sebagai kesatuan yang utuh. Seluruh alam semesta dan sejarah dipegang-Nya dengan mutlak untuk menyatakan kehendak-Nya. Maka setiap waktu, setiap tempat, setiap kejadian yang diizinkan untuk kita alami tidaklah terlepas dari rencana dan kehendak-Nya. Setiap wahyu umum yang diperhadapkan-Nya pada kita, pasti ada wahyu khusus (kehendak Allah) di dalamnya, yang harus kita temukan sehingga kita boleh melihat wahyu umum itu dengan benar.
Kita kita belajar melihat seni sebagai wahyu Allah, kita juga tidak bisa melepaskan diri dari sejarah dunia ini. Kita tidak bisa mempelajari wahyu Allah di dalam keluasan dan keutuhannya jikalau kita tidak mau belajar dari sejarah. Kita percaya bahwa sejarah dunia adalah wahyu Allah di mana Allah sendiri bekerja di dalamnya. Maka, setiap wahyu Allah pasti ada di dalam keluasan dan keutuhannya sehingga apa yang kita pelajari di dalam setiap bidang ilmu pasti tidak bisa dilepaskan sama sekali dari sejarah. Seni pun tidak bisa kita lepaskan dari sejarah. Melihat suatu karya seni tidak bisa dengan kerangka pikir melihat sebuah brute fact, yaitu sebagai suatu bentuk ciptaan netral di mana belum ada orang yang menginterpretasikan karya seni tersebut. Tuhan membuat seluruh alam semesta dengan rancangan dan tujuan tertentu, rancangan dan tujuan yang terpancar dari setiap aspek ciptaan ini. Alam mencerminkan kemuliaan Allah, seperti keteraturan Allah, keindahan Allah, dan kuasa Allah yang dahsyat lewat keluasan alam semesta, kompleksitas di dalam detail alam namun juga seluruhnya bekerja secara harmonis dalam keberbedaannya. Demikian pula seorang seniman tidak pernah tidak memiliki suatu konsep terlebih dahulu di dalam pikirannya sebelum membentuk karya seninya. Karya seni itu nantinya akan memancarkan seluruh konsep, jiwa, pikiran, atau emosi dari sang seniman yang juga merupakan bagian dari masyarakatnya, budayanya, zamannya, dan tempatnya di dalam sejarah umat manusia. Jelaslah bahwa sebuah karya seni tidak pernah netral. Maka jika kita hendak mempelajarinya, kita tidak bisa lepas dari konteks sejarah dan semangat zaman yang memengaruhinya. Namun dalam melihat hal ini kita tidak boleh melupakan fakta kejatuhan manusia dalam dosa sehingga di dalam pewahyuan-Nya, Tuhan tidak hanya menyatakan anugerah-Nya tetapi juga murka-Nya – ya, murka Allah yaitu dosa dan seluruh akibatnya pun bersifat pewahyuan dari Tuhan. Tuhan memberikan anugerah-Nya kepada umat perjanjian-Nya, dan memberikan murka-Nya kepada yang melawan-Nya dan sejarah menjadi panggung Allah untuk menyatakan kedua hal ini kepada manusia.
Begitu banyak orang yang sudah malas begitu mendengar harus belajar dari sejarah, padahal sejarah dipakai oleh Allah sebagai suatu bentuk pewahyuan diri-Nya yang dengan setia memelihara dan menopang ciptaan-Nya. Jika kita bersedia belajar dari sejarah, kita akan dapat dengan lebih jelas melihat dan mengenal pribadi Allah yang kita sembah melalui pekerjaan-Nya. Cornelius Van Til mengatakan bahwa sejarah adalah panggung differensiasi (pemisahan) antara umat perjanjian (covenant-keeper) dan orang-orang tidak percaya (covenant-breaker); dan di dalam dunia ini juga ada pewahyuan anugerah Tuhan (the revelation of the grace of God) dan pewahyuan murka Tuhan (the revelation of the wrath of God).
Tuhan mengizinkan adanya baik dan jahat, cantik dan jelek, adil dan tidak adil, benar dan salah untuk hadir bersama-sama sebagai tanda anugerah dan murka-Nya yang juga hadir bersama-sama di dalam dunia ini. Umat perjanjian-Nya selalu ingin dibawa-Nya kepada yang baik, dan baik bukan hanya di wilayah moral dan spiritual, tetapi seluruh hidup, seluruh bidang yang digeluti, seluruh fakta yang dilihatnya, seluruh hasil karyanya dari yang paling kecil sampai di dalam kaitannya dengan sejarah umat manusia beserta seluk-beluk kebudayaannya yang luas. Karya seni yang dibuat manusia bisa sangat indah seolah-olah diturunkan langsung dari surga, tetapi juga bisa tampak sangat aneh, sulit dimengerti bahkan jelek luar biasa. Ada lukisan yang begitu indah tetapi memiliki pesan yang bernuansakan pemberontakan manusia; ada guci yang bagi kita mungkin kurang menarik tetapi ternyata memiliki latar belakang sejarah yang luar biasa indah di mana kita dapat melihat kemurahan dan anugerah Allah yang diberikan kepada orang tidak percaya. Di dalam suatu karya seni, jika kita bersedia untuk melihat lebih teliti dan berpikir lebih luas, terkandung wahyu anugerah Allah dan murkaNya bersama-sama. Lalu bagaimana kita dapat melihat wahyu anugerah Allah di dalam karya seni yang sudah rusak? Atau bagaimana kita bisa kritis melihat murka Allah di dalam sebuah karya seni yang begitu indah?
Kita mungkin sudah tahu sekarang bahwa seluruh indra manusia memang sangat berguna tetapi juga sangat mudah ditipu. Penglihatan kita dapat ditipu oleh ilusi mata, pendengaran kita juga sangat terbatas, penciuman dan indra perasa kita pun sangat lemah dibandingkan dengan binatang. Apa yang terlihat indah bagi kita, tidak selalu indah secara tak kelihatan. Sama seperti seorang wanita yang cantik ternyata juga adalah seorang pelacur. Seorang wanita yang tidak cantik sama sekali ternyata memiliki kepribadian yang lemah lembut, cerdas, dan bijaksana. Kehidupan sehari-hari telah memberikan contoh yang cukup jelas, hal demikian juga berlaku di dalam dunia seni. Kita harus bisa melihat lebih dalam daripada hanya sekadar permukaan saja. Maka bagaimana kita dapat mengenali dengan baik wahyu anugerah maupun wahyu murka Allah ketika kita melihat sebuah karya seni? Kita dapat memulainya dengan belajar firman Tuhan baik-baik dan memelihara relasi kita dengan Tuhan. Kita dapat mengetahui identitas seseorang hanya dari tulisannya atau gaya bicaranya – itu jika kita memiliki relasi yang cukup dekat dengan orang itu. Kita mungkin mendengar suaranya setiap hari, kita begitu sering bercakap-cakap dengannya sehingga kita mengenal baik gaya bicara dan pemilihan kata yang menjadi ciri khasnya, kita bahkan sudah tahu bahwa ia mendekat hanya dengan mendengar suara langkah kakinya saja. Kita tidak dapat berharap untuk bisa mengenali wahyu Allah di mana pun itu berada jika kita bahkan tidak mengenal siapa Allah yang berbicara kepada kita itu. Tetapi kita juga tidak boleh lupa dengan “bahasa” apa Tuhan sedang berbicara kepada kita. Jika Tuhan sedang menggunakan “bahasa seni” untuk mewahyukan diri-Nya, maka marilah kita juga baik-baik mempelajari bahasa tersebut. Karena bahkan pesan dengan maksud yang paling baik pun dapat menimbulkan perang jika dibaca dalam konteks bahasa yang salah atau diinterpretasikan dengan sembarangan. Seni harus kita ingat sebagai bentuk wahyu Allah, dapat mengandung wahyu umum yang membawa wahyu khusus di dalamnya. Seperti yang telah disebutkan pada bagian awal artikel ini, keindahan seni bukan untuk dinikmati atau difoto-foto saja sebagai suatu prestise bagi diri, tetapi harus ditelaah dan direnungkan lebih lanjut sampai kita dapat melihat kebenaran Tuhan di dalamnya. Tuhan menciptakan dengan keindahan supaya bisa dinikmati oleh manusia, tetapi manusia dicipta juga dengan tanggung jawab untuk berespons terhadap keindahan itu. Manusia yang sudah ditebus tidak boleh dan tidak bisa untuk tidak bertanggung jawab bahkan di dalam mengapresiasi keindahan dengan benar. Keindahan yang benar-benar indah adalah jika ada kebenaran Tuhan di dalamnya, tidak hanya secara bentuk dan warna atau secara indrawi tetapi juga secara rohani. Bentuk dan warna bersama-sama dengan pesan yang terkandung dalam bentuk dan warnanya menyampaikan suatu pesan – mungkin berupa murka Allah, tetapi yang segera disambut dengan anugerah Allah. Kita tidak boleh mengatakan suatu karya seni itu indah jika itu tidak indah dan kita juga tidak boleh mengatakan itu tidak indah jika itu sesungguhnya indah. Lalu apakah keindahan karya seni itu dapat membuat kita mengenal kebenaran dan pribadi sang Pencipta keindahan itu? Jika ya, baru dapat dikatakan bahwa kita telah berhasil mengapresiasi sebuah keindahan karya seni.
Lalu pertanyaan berikutnya adalah, “apa yang harus dilakukan?”, karena kita tidak lagi bisa berdalih dengan berkata bahwa seni tidak memiliki signifikansi langsung dalam hidup kita masing-masing. Hal pertama yang paling mungkin dilakukan adalah benar-benar berusaha menggali pengetahuan di dalam seni. Hal ini bukanlah hal yang mudah karena tidak di semua tempat terdapat fasilitas untuk belajar dengan benar mengenai kesenian di dalam peradaban manusia (sebagai contohnya, Indonesia, yang memiliki puluhan museum dan perpustakaan nasional yang kurang terawat). Ketika seluruh sumber pembelajaran telah disediakan di depan mata, masihkah kita berpangku tangan dan menyia-nyiakan anugerah? Padahal di lain pihak kita juga mengetahui bahwa anugerah itu terbatas.
Problematika yang sering muncul adalah anggapan bahwa pasti ada kaitan antara seni dan diri kita, namun kita merasa tidak mampu mempelajarinya. Pernyataan ini sangat menarik karena di satu sisi ada semangat kerendahan hati di dalamnya. Namun pada saat yang sama, apabila hal ini tidak mendorong kita untuk belajar lebih lagi, maka tidak ada gunanya pernyataan tersebut diucapkan; karena yang ada adalah kesombongan hati dalam topeng kerendahan hati (akulah yang menjadi hakim akhir untuk menyatakan bisa tidaknya aku berkembang, terlepas dari tuntutan Allah yang menuntut kita berkembang).
Yang menjadi harapan kita, orang awam, untuk mengerti seni adalah karena seni bergerak dan berkembang di dalam pergerakan sejarah. Allah yang kita kenal di dalam Kristus adalah Allah atas seluruh sejarah yang pernah dan yang akan ada; dan Ia menunjukkan diri-Nya juga lewat seni. Terlebih lagi Dia adalah Allah yang mengirim Anak-Nya untuk masuk ke dalam sejarah, mengambil rupa orang berdosa (seperti kita), untuk menjalankan kehendak Bapa di Surga yang kekal dan sempurna menggantikan kegagalan kita. Allah demikianlah yang membimbing kita dalam mengenal seni di dalam pergerakan sejarah, yang ada hanya karena Dia sendiri menetapkannya untuk ada.
Hal berikutnya yang perlu dicermati adalah bahwa dosa telah menarik hidup ini begitu hebatnya, bahkan saat kita seakan-akan telah “berusaha” untuk memaksimalkan setiap potensi yang ada di sekitar kita. Karena bentuk penyia-nyiaan anugerah tidak harus dengan tidak mencari sumberyang sangat available untuk dipelajari; bahkan di saat kita telah melakukan itu pun, kita sangat mungkin jatuh ke dalam dosa. Janganlah kita masuk ke dalam pembodohan diri dengan mengakses museum atau browsing dan mengejar pengenalan akan karya-karya seni hanya untuk mendapatkan satu stempel “I’ve been to a museum” di atas dahi kita; sehingga tidak ada lagi yang dapat menuduh kita bahwa kita acuh terhadap perkembangan seni.
Apabila motivasi serendah yang disebutkan di atas masih sempat kita pertimbangkan di dalam pikiran kita, kita harus benar-benar bertobat. Hal demikian sama saja dengan usaha kita untuk membodohi Sang Pemberi Anugerah, yang kita fisikalisasi dalam bentuk orang-orang di sekitar kita. Saat orang-orang menganggap kita telah berpartisipasi dalam pemenuhan mandat budaya (dengan mengunjungi museum, apalagi museum yang dipaparkan oleh gereja), maka Tuhan pasti telah puas dengan kesaksian saya di depan umum, adalah suatu pola pandang yang sangat bodoh yang dilakukan dalam situasi yang teramat bodoh (mengingat disediakannya berkat yang begitu besar namun kita puas hanya dengan menciumnya dari kejauhan tanpa benar-benar masuk dan menikmatinya secara utuh).
Motivasi demikian juga akan menghambat proses bermandat budaya. Dalam arti bahwa tiap orang dipanggil untuk mengorelasikan apa yang dia percaya dengan apa yang ia jalani dalam hidupnya. Korelasi ini tidak akan pernah ada bila tidak ada kedalaman dari pengenalan akan Tuhan dan karya-Nya di dunia ini serta pengenalan akan apa yang kita kerjakan. Bila hal demikian terjadi, maka kita hanyalah akan berbudaya (inipun masih memerlukan niat untuk menggali suatu bidang sedalam-dalamnya). Apabila kita bahkan tidak mau masuk ke dalam museum dan belajar di dalamnya, maka kita sebenarnya jauh lebih buruk dibandingkan dengan para seniman-seniman yang tidak percaya di luar sana (yang bahkan masih diberi kesempatan untuk melihat penyertaan Tuhan dalam sejarah, walaupun mungkin di luar kesadaran mereka akan hal tersebut).