Refleksi Khotbah FIRES
Minggu, 17 Maret 2024
Pengkhotbah : dr. Diana Samara
Ayat Alkitab : Kejadian 2:15-17; Kejadian 3:8-10; Roma 8:15
Setiap orang pasti pernah merasakan takut. Mulai dari hal yang terlihat seperti takut gelap, takut kecoa, atau takut jarum suntik, sampai hal yang tidak terlihat seperti takut gagal, takut akan masa depan, takut mati dan lain sebagainya. Pertanyaannya, apakah rasa takut ini memang sudah ada dari sananya?
Alkitab berkata bahwa manusia diciptakan tanpa rasa takut. Rasa takut pertama kali muncul ketika manusia jatuh ke dalam dosa. Setelah Adam dan Hawa makan buah yang dilarang oleh Allah, mereka bersembunyi ketika mendengar langkah kaki Allah datang mendekat. Mereka yang tadinya menikmati berada bersama Allah, sekarang menjadi takut akan kehadiran Allah. Bukan hanya terkait relasi dengan Allah, relasi dengan sesama manusia dan alam pun juga rusak sehingga hidup manusia jadinya terus dibayang-bayangi rasa takut tentang berbagai hal.
Manusia kemudian berusaha dengan caranya sendiri untuk menanggulangi rasa takut tersebut. Ada yang takut sakit, maka ia memakai banyak uang menjaga kesehatannya. Ada yang takut dihina orang lain, maka ia berusaha mengubah dirinya sesuai ekspektasi orang lain. Ada yang takut neraka, maka ia selalu berbuat baik dengan harapan hal itu dapat membawa ia masuk surga. Namun, usaha-usaha yang manusia lakukan ini tidak menjamin memberikan solusi yang diharapkan. Hanya ada satu cara untuk menghilangkan segala rasa takut kita, yaitu dengan kembali kepada Allah. Allah adalah Sang Pemberi Damai dan Jaminan Hidup. Hanya Allah yang bisa membuat hidup kita bebas dari rasa takut dan menjamin kesejahteraan jiwa kita.
Satu-satunya jalan kita bisa kembali kepada Allah adalah melalui Anak-Nya, yaitu Yesus Kristus, yang sudah mati di atas kayu salib dan bangkit kembali. Karya Yesus Kristus ini memulihkan segala relasi yang sudah rusak, baik kepada Allah, sesama manusia, dan juga alam sehingga kita bisa kembali berelasi dengan benar tanpa rasa takut. Kita justru sekarang diberikan keberanian untuk hidup bagi Allah, melayani sesama manusia, tanpa perlu takut dengan kondisi alam yang mungkin bisa membuat kita sakit.
Kita dapat melihat contoh dari kisah hidup Pdt. Stephen Tong yang berani hidup bagi Allah untuk memberitakan injil ke pelosok-pelosok yang sulit dijangkau, menerjang segala bahaya dalam perjalanan dan cuaca tak menentu yang dapat mencelakakan fisiknya. Beliau pernah mengatakan untuk jangan takut sakit, tetapi biarlah sakit yang takut kita. Mungkin kita bisa mengganti kata ‘sakit’ dengan kesulitan / ketakutan kita lainnya sebagai motivasi untuk kita melatih diri dalam mengikis rasa takut yang ada pada kita.
Ketakutan apa yang masih menguasai diri kita sampai hari ini? Mari kita kembali kepada Allah, mengandalkan Dia dan memohon anugerah-Nya supaya menguatkan kita melawan rasa takut sehingga makin hari kita boleh makin berani hidup untuk Allah dengan benar.
Refleksi oleh: Thressia Hendrawan