“Karena kamu telah mengenal kasih karunia Tuhan kita Yesus Kristus, bahwa Ia, yang oleh karena kamu menjadi miskin, sekalipun Ia kaya, supaya kamu menjadi kaya oleh karena kemiskinan-Nya.”
2 Korintus 8:9
Inilah yang terjadi di Natal pertama: Wahyu yang paling mendalam dan tidak terduga hadir. “Firman menjadi daging” (Yohanes 1:14); Tuhan menjadi manusia; Allah Anak menjadi seorang Yahudi; Yang Mahakuasa muncul di bumi sebagai bayi yang tidak berdaya, Ia tidak dapat melakukan banyak hal selain berbaring, melihat sekeliling, menggeliat, dan membuat suara-suara kecil. Ia perlu diberi makan, dipakaikan baju, diajar berbicara seperti anak lainnya. Dan ini bukanlah sebuah ilusi ataupun tipu muslihat; kehidupan Allah Anak sebagai bayi adalah kenyataan. Makin Anda memikirkannya, makin mencengangkan pula hal ini. Tidak ada apa pun dalam cerita fiksi yang dapat disandingkan dengan keajaiban kebenaran inkarnasi.
Bagaimana seharusnya kita memikirkan tentang inkarnasi Tuhan: Perjanjian Baru tidak menganjurkan kita untuk membingungkan diri dengan pertanyaan jasmani dan psikologi yang ditimbulkannya, tetapi untuk menyembah Allah atas cinta yang ditunjukkan melalui perbuatan tersebut. Karena perbuatan tersebut adalah sikap yang merendahkan diri. Paulus menulis, “yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib” (Filipi 2:6-8). Semua ini bagi keselamatan kita.
Teks kunci di dalam Perjanjian Baru untuk menafsirkan inkarnasi bukanlah Yohanes 1:14, “Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita,” tetapi pernyataan yang lebih komprehensif dari 2 Korintus 8:9, “Karena kamu telah mengenal kasih karunia Tuhan kita Yesus Kristus, bahwa Ia, yang oleh karena kamu menjadi miskin, sekalipun Ia kaya, supaya kamu menjadi kaya oleh karena kemiskinan-Nya.” Di sini dinyatakan, tidak hanya fakta inkarnasi saja, tetapi maknanya juga; kemanusiaan pada diri Allah Anak dinyatakan di hadapan kita sedemikian rupa sehingga menunjukkan bagaimana seharusnya kita menyatakan hal itu bagi kita dan bagaimana seharusnya kita memandangnya—bukan hanya sebagai keajaiban alamiah, namun sebagai keajaiban anugerah.
Allah Anak yang mengosongkan diri dan menjadi miskin berarti mengesampingkan kemuliaan; pembatasan kuasa secara sukarela; menerima kesulitan, pengucilan, perlakuan kejam, kebencian dan kesalahpahaman; pada akhirnya, kematian yang begitu menyiksa—secara rohaniah, melebihi jasmaniah—dimana hanya dengan membayangkannya saja hampir menghancurkan pikiran-Nya. Inilah cinta yang sempurna bagi manusia yang hina, sehingga “kamu menjadi kaya oleh karena kemiskinan-Nya.” Pesan Natal ialah adanya harapan untuk umat manusia yang terpuruk—harapan pengampunan, harapan perdamaian dengan Tuhan, harapan kemuliaan—karena atas kehendak Allah Bapa, Yesus Kristus menjadi miskin dan dilahirkan di kandang, sehingga 30 tahun kemudian Ia dipaku di atas kayu salib. Inilah pesan terindah yang dunia pernah dengar, dan nantinya akan mendengarkan pula.
Kita dengan mudahnya bicara ‘semangat Natal,’ yang dimaknai tidak lebih daripada sentimen kegembiraan bersama keluarga. Tetapi apa yang baru kita bicarakan jelas menunjukkan bahwa ucapan tersebut bermakna jauh lebih mendalam. Seharusnya kita meniru semangat-Nya, yang menjadi miskin demi kita, di dalam hidup ini. Dan memang sudah seharusnya semangat Natal menjadi tanda orang Kristen sepanjang tahun.
Adalah sebuah aib yang sangat besar bahwa begitu banyak orang Kristen—saya akan lebih spesifik: banyak orang Kristen yang bijaksana dan ortodoks—menghadapi dunia ini dengan semangat imam dan Lewi di dalam perumpamaan Tuhan kita, yang melihat kebutuhan orang lain di sekitar mereka, tetapi memalingkan pandangan, dan melewatkan mereka (setelah membuat permintaan yang saleh, dan mungkin doa, meminta kiranya Tuhan memenuhi kebutuhan tersebut). Itu bukanlah semangat Natal. Itu juga bukanlah semangat orang Kristen yang ambisinya dalam hidup tidak hanya terbatas pada membangun keluarga Kristen kelas menengah, berteman dengan orang Kristen kelas menengah, membesarkan anak-anak mereka ala Kristen kelas menengah, dan yang membiarkan komunitas kelas menengah ke bawah, yang Kristen maupun yang non-Kristen, untuk berjalan dengan sendirinya.
Semangat Natal tidak bersinar di dalam diri orang Kristen yang sombong. Semangat Natal dimiliki oleh mereka yang, seperti Tuannya, menghidupi prinsip memiskinkan diri—memakai dan dipakai—untuk memperkaya sesama manusia, memberi waktu, kesulitan, kepedulian, perhatian, berbuat baik pada yang lain—dan bukan hanya pada teman mereka—dengan cara apa pun yang diperlukan. Banyak orang yang tidak menunjukkan semangat yang seharusnya. Jika dalam belas kasihan Tuhan menyadarkan kita, salah satu hal yang akan Dia lakukan adalah untuk mengerjakan semangat ini dalam hati dan hidup kita. Jika kita menginginkan pertumbuhan rohani secara pribadi, mengembangkan semangat ini adalah satu langkah yang kita perlu ambil. “Karena kamu telah mengenal kasih karunia Tuhan kita Yesus Kristus, bahwa Ia, yang oleh karena kamu menjadi miskin, sekalipun Ia kaya, supaya kamu menjadi kaya oleh karena kemiskinan-Nya.” “Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus.” “Aku akan mengikuti petunjuk perintah-perintah-Mu, sebab Engkau melapangkan hatiku” (Mazmur 119:32).